BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar BelakangAnak baru lahir merupakan kondisi yang memiliki angka risiko tinggi untuk terjadi penyakit ataupu gangguan lainnya. Kondisi tersebut dipengaruhi oleh sistem pertahanan tubuh yang belum optimal. Banyak kejadian terhadap anak baru lahir karena dipengaruhhi oleh faktor pre natal, natal dan post natal. Deteksi dini dan upaya pencegahan dengan pola hidup sehat (olharaga, makan makanan sehat) harus senantiasa dipromosikan oleh pihak kesehatan sebagai upaya preventif dan promotif.
Anak dengan kejadian ganggaun terhadap sistem pencernaan juga sering ditemui. Kebanyakan hal tersebut merupakan kondisi fisiologi dan ada yang patologi tapi juga ada kondisi fisiologi yang dapat menjdai patologi. Kondisi anak dengan ikterus normal ditemukan pada 80% kurang bulan dan 60% cukup bulan. Hal ini menunjukkan bahwa angka kejadian ikterus cukup tinggi. Namun tidak semua ikterus tersebut patologi. Untuk mengetahui perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. Jika kondisi tersebut dibiarkan juga akan berdampak pada angka kehidupan anak karena dapat menyebabkan kematian.
Peran perawat lebih bertindak kepada promotif dan preventif dan kuratif ketika sudah terjadi ikterus. Pemberian penjelasan kepada keluarga tentang pentingnya pemeriksaan kondisi anak terhadap penyakit yang dialami akan dilakukan perawat. Asuhan keperawatan yang akan bergerak untuk memberikan penanganan terhadap kejadian ikterus pada anak
1.2 Tujuan
- Mengetahui pengertian ikterus
- Mengetahui epidemiologi ikterus
- Mengetahui etiologi ikterus
- Mengetahui tanda dan gejala ikterus
- Mengetahui patofisiologi ikterus
- Mengetahui komplikasi dan prognosis ikterus
- Mengetahui penatalaksanaan medis ikterus
- Mengetahui pemeriksaan penunjang dan laboratorium ikterus
- Mengetahui pencegahan ikterus
- Mengetahui asuhan keperawatan pada pasien ikterus
1.3 Implikasi Keperawatan
- Perawat sebagai edukator
- Perawat sebagai konselor
- Perawat memberikan konseling mengenai prosedur dalam menjalani perawatan ikterus.
- Perawat memberikan konseling kepada orang tua mengenai nutrisi yang harus dipenuhi oleh pasien dengan kondisi ikterus.
- Perawat membantu klien dalam memecahkan masalah dengan memberikan pilihan-pilihan yang terbaik guna mendapatkan pelayanan dan pengobatan untuk klien dengan kodisi ikterus.
- Perawat sebagai advokasi
- Perawat melindungi hak-hak pasien dengan ikterus, dalam mendapatkan pelayanan dan pengobatan yang sesuai.
- Perawat memberikan saran – saran kepada klien jika klien dihadapkan
pada suatu permasalahan, dengan membantu menyelesaikannya dan tidak lupa
menjelaskan tentang baik buruknya dari setiap pilihan.
- Perawat sebagai klinisi
BAB 2. TINJAUAN TEORI
2.1 Definisi IkterusIkterus adalah suatu keadaan dimana konsentrasi bilirubin dalam darah mengalami peningkatan yang abnormal. Bahkan semua bagian tubuh yang mencakup sclera dan kulit akan tampak berubah berwarna menjadi kuning ataupun kuning kehijauan. Ikterus terjadi bila kadar bilirubin dalam darah melampaui 2 hingga 2,5 mg/dl. Peningkatan kadar bilirubin ini dapat terjadi akibat gangguan pada ambilan hepatic, ekskresi bilirubin ke dalam system bilier.
Ikterus mempunyai beberapa tipe yaitu tipe hemolitik, hepatoseluler, obstruktif, dan ikterus akibat hiperbilirubinemia herediter. Tipe-tipe terebut antara lain:
- Ikterus hemolitik
Tipe ini tidak mengalami gejala atau komplikasi sebagai akibat dari ikterus itu sendiri. Namun jika hiperbilirubinemia sangat ekstrim akan dapat mengalami gejala atau komplikasi. Ikterus yang berlangsung lama dapat membawa risiko kemungkinan terjadinya kerusakan batang otak.
- Ikterus hepatoseluler
Konsumsi alcohol yang berlebih dapat menyebabkan sirosis hepatis. Sirosis hepatis merupakan bentuk penyakit hepatoseluler yang dapat menimbulkan ikterus. Pasien ikterus hepatoseluler bisa menderita.
Tanda gejala dari pasien dengan ikterus hepatoseluler biasanya menderita sakit ringan atau berat dengan menurunnya selera makan, mual, perasaan lemah, lesu, dan terjadi penurunan berat badan. Pasien juga biasanya mengeluh sakit kepala, menggigil dan panas jika penyebabnya adalah infeksi. Ikterus hepatoseluler bisa bersifat reversible total atau ireversibel bergantung pada penyebab dan luasnya kerusakan hati.
- Ikterus obstruktif
Obstruksi intrahepatik yang disebabkan pengentalan empedu di dalam kanalikus dapat terjadi setelah minum obat-obatan yang tergolong preparat atau kolestatik. Obat-obatan dengan contoh fenotiazin, sulfonylurea, antidepresan trisiklik, estrogen, dan androgen.
Perubahan warna kuning pada kulit, sklera serta membrane mukosa dapat disebabkan karena bila empedu tidak dapat mengalir secara normal ke dalam usus, tetapi mengalir balik ke dalam hati, maka empedu ini akan diserap kembali ke dalam darah dan dibawa ke seluruh tubuh.
Empedu tersebut akan di ekskresikan ke dalam urin yang membuat urin berwarna tengguli dan berbuih. Karena terjadinya penurunan jumlah empedu dalam saluran cerna, tinja akan tampak berwarna cerah atau pekat. Kulit dapat terasa sangat gatal sehingga pasien harus mandi berkali-kali.
- Hiperbilirubinemia herediter
Keadaan lain yang mungkin disebabkan oleh kelainan bawaan metabolism bilier mencakup: Sindrom Dubin-johnson (ikterus idiopatik kronis dengan pigmen dalam hati) dan sindrom rotor (hiperbilirubinemia-terkonjugasi familial kronis tanpa pigmen dalam hati). Ikterus kolestatik benigna pada kehamilan dengan retensi bilirubin terkonjugasi yang kemungkinan terjadi sekunder akibat kepekaan yang abnormal terhadap hormone-hormon kehamilan, dan kemungkinan pula akibat kambuhnya kolestasis intrahepatik yang ganas.
2.2 Epidemiologi Ikterus
Pada sebagian besar neonatus, ikterik akan ditemukan dalam minggu pertama kehidupannya. Dikemukan bahwa angka kejadian iketrus terdapat pada 60 % bayi cukup bulan dan 80 % bayi kurang bulan. Ikterus ini pada sebagian penderita dapat berbentuk fisiologik dan sebagian lagi patologik yang dapat menimbulkan gangguan yang menetap atau menyebabkan kematian.
2.3 Etiologi Ikterus
Hiperbilirubinemia dapat disebabkan oleh berbagai keadaan:
- a. Penyebab yang sering:
- Hiperbilirubinemia fisiologis
- Inkompatibilitas golongan darah ABO
- ‘Breast Milk Jaundice’
- Inkompatibilitas golongan darah rhesus
- Infeksi
- Hematoma sefal, hematoma subdural, ‘excessive bruising’
- IDM (‘Infant of Diabetic Mother’)
- Polisitemia / hiperviskositas
- Prematuritas / BBLR
- Asfiksia (hipoksia, anoksia), dehidrasi – asidosis, hipoglikemia.
- b. Penyebab yang jarang:
- Defisiensi G6PD (Glucose 6 – Phosphat Dehydrogenase)
- Defisiensi piruvat kinase
- Sferositosis kongenital
- Lucey – Driscoll syndrome (ikterus neonatorum familial)
- Hipotiroidism
- Hemoglobinopathy
2.4 Tanda dan Gejala Ikterus
Gejala utamanya adalah kuning di kulit, konjungtiva dan mukosa. Disamping itu dapat pula disertai dengan gejala-gejala:
- Dehidrasi: Asupan kalori tidak adekuat (misalnya: kurang minum, muntah-muntah)
- Pucat: Sering berkaitan dengan anemia hemolitik (mis. Ketidakcocokan golongan darah ABO, rhesus,defisiensi G6PD) atau kehilangan darah ekstravaskular.
- Trauma lahir: Bruising, sefalhematom (peradarahn kepala), perdarahan tertutup lainnya.
- Pletorik (penumpukan darah): Polisitemia, yang dapat disebabkan oleh keterlambatan memotong tali pusat, bayi KMK
- Letargik dan gejala sepsis lainnya
- Petekiae (bintik merah di kulit): Sering dikaitkan dengan infeksi congenital, sepsis atau eritroblastosis
- Mikrosefali (ukuran kepala lebih kecil dari normal): Sering berkaitan dengan anemia hemolitik, infeksi kongenital, penyakit hati
- Hepatosplenomegali (pembesaran hati dan limpa)
- Omfalitis (peradangan umbilikus)
- Hipotiroidisme (defisiensi aktivitas tiroid)
- Massa abdominal kanan:sering berkaitan dengan duktus koledokus
- Feses dempul disertai urin warna coklat
2.5 Patofisiologi Ikterus
Empedu yang disekresikan oleh hepar masuk kedalam duktus biliaris yang kecil dalam hepar. Duktus biliaris yang kecil bersatu dan membentuk dua saluran yang lebih besar yang keluar dari permukaan bawah hepar sebagai duktus hepatikus kanan dan kiri yang bersatu menjadi duktus hepatikus komunis. Duktus hepatikus komunis bergabung dengan duktus sistikus menjadi duktus kholedekus yang akan bersatu dengan duktus pankreatikus membentuk ampula vateri yang bermuara di duadenum. Penimbunan pigmen empedu dalam tubuh menyebabkan warna kuning sampai kehijauan pada jaringan yang disebut ikterus dan ini merupakan tanda penting dari penyakit hati, saluran empedu dan penyakit darah. Terdapat 4 mekanisme terjadinya hiperbilirubinemia dan ikterus, antara lain:
- Pembentukan bilirubin berlebihan
- Gangguan pengambilan bilirubin tak terkonyugasi oleh hati
- Gangguan konyugasi bilirubin
- Pengurangan eksresi bilirubin terkonyugasi dalam empedu akibat faktor intra hepatik dan ekstra hepatik yang bersifat obstruksi fungsional/mekanik.
Penyebab ikterus kholestatik bisa intra hepatik atau ekstrahepatik. Penyebab intra hepatik adalah inflamasi, batu, tumor, kelainan kongenital duktus biliaris. Kerusakan dari sel parenkim hati menyebabkan gangguan aliran dari garam bilirubin dalam hati, akibatnya bilirubin tidak sempurna dikeluarkan kedalam duktus hepatikus karena terjadinya retensi dan regurgitasi. Jadi akan terlihat peninggian bilirubin terkonjugasi dan bilirubin tidak terkonjugasi dalam serum.
Penyumbatan duktus biliaris yang kecil intrahepatal sudah cukup menyebabkan ikterus. Kadang-kadang kholestasis intra hepatal disertai dengan obstruksi mekanis didaerah ekstra hepatal.
Obstruksi mekanik dari aliran empedu intra hapatal yang disebabkan oleh batu/hepatolith biasanya menyebabkan fokal kholestasis, keadaan ini biasanya tidak terjadi hiper bilirubinemia karena dikompensasi oleh hepar yang masih baik. Kholangitis supuratif yang biasanya disertai pembentukan abses dan ini biasanya yang menyebabkan ikterus. Infeksi sistemik dapat mengenai vena porta akan menyebabkan invasi kedinding kandung empedu dan traktus biliaris.
Pada intra hepatik kholestasis biayanya terjadi kombinasi antara kerusakan sel hepar dan gangguan metabolisme (kholestasis dan hepatitis).
Ekstra hepatik kholestatik disebabkan gangguan aliran empedu kedalam usus halus sehingga akibatnya terjadi peninggian bilirubin terkonjugasi dalam darah. Penyebab yang paling sering dari ekstra hepatik kholestatik adalah batu diduktus kholedekhus dan duktus sistikus, tumor duktus kholedekus, kista duktus kholeskhus, tumor kaput pankreas, sklerosing kholangitis.
2.6 Komplikasi dan Prognosis Ikterus
ikterus adalah suatu sindrom neurologik yang timbul sebagai akibat penimbunan tak terkonjugasi dalam sel-sel otak.
Hiperbilirubemia baru akan berpengaruh buruk apabila bilirubin indirek telah melalui sawar otak.
2.7 Penatalaksanaan Medis Ikterus
- terapi sinar pada:
b) NKB (neonatus kurang bulan) sehat : kadar bilirubin total > 10 mg/dL
- tranfusi tukar bila kadar bilirubin indirek > 20 mg/dL
- Terapi sinar intensif
Penanganan Kuning Pada Bayi Baru Lahir
Penanganan ikterus (kuning) pada bayi baru lahir (neonatus) dapat dilakukan dengan:
- Penanganan secara mandiri di rumah
b) Sinar matahari dapat membantu memecah bilirubin sehingga lebih mudah diproses oleh hati.
Langkah-langkah:
I. Tempatkan bayi dekat dengan jendela terbuka untuk mendapat matahari pagi antara jam 7-8 pagi agar bayi tidak kepanasan.
II. atur posisi kepala agar wajah tidak menghadap matahari langsung.
III. Lakukan penyinaran selama 30 menit, 15 menit terlentang dan 15 menit tengkurap.
IV. Usahakan kontak sinar dengan kulit seluas mungkin, oleh karena itu pakaian bayi hendaknya dilepas, tetapi hati-hati jangan sampai kedinginan.
- Terapi medis
b) Jika terapi sinar yang standar tidak dapat menolong untuk menurunkan kadar bilirubin, maka bayi akan ditempatkan pada selimut fiber optic atau terapi sinar ganda/triple.
c) Jika gagal dengan terapi sinar maka dilakukan transfusi tukar yaitu penggantian darah bayi dengan darah donor. Ini adalah prosedur yang sangat khusus dan dilakukan pada fasilitas yang mendukung untuk merawat bayi dengan sakit kritis. namun secara keseluruhan, hanya sedikit bayi yang akan membutuhkan transfusi tukar.
2.9 Pemeriksaan Penunjang Dan Pemeriksaan Laboratorium
2.9.1 Pemeriksaan Penunjang
- Kadar bilirubin serum (total)
- Darah tepi lengkap dan gambaran apusan darah tepi
- Penentuan golongan darah dan Rh dari ibu dan bayi
- Pemeriksaan kadar enzim G6PD
- Pada ikterus yang lama, lakukan uji fungsi hati, uji fungsi tiroid, uji urin terhadap galaktosemia.
- Bila secara klinis dicurigai sepsis, lakukan pemeriksaan kultur darah, urin, IT rasio dan pemeriksaan C reaktif protein (CRP).
2.9.2 Pemeriksaan Laboratorium
Pada beberapa kasus pemeriksaan fisik yang lengkap sangat diperlukan dan pemeriksaan darah mungkin diperlukan untuk mengetahui:
- Kadar bilirubin total
a) tes Coombs untuk memeriksa antibodi yang menghancurkan sel darah merah bayi.
b) pemeriksaan darah lengkap
c) pemeriksaan hitung retikulosit untuk melihat apakah bayi memproduksi sel darah merah yang baru.
- Golongan darah dan rhesus ibu dan bayi
- Pada beberapa kasus mungkin perlu untuk memeriksa darah untuk melihat suatu kondisi yang disebut sebagai defisiensi G6PD
2.8 Pencegahan Ikterus
Pada kebanyakan kasus, kuning pada bayi tidak bisa dicegah. Cara terbaik untuk menghindari ikterus adalah dengan memberi bayi cukup minum terutama pemberian ASI.
BAB 3. PATHWAYS
Hemoglobin
Globin heme
Biliverdin feco
Peningkatan destruki eritrosit hb dan eritrosit
Pemecahan bilirubin berlebih
Suplai bilirubin melebihi kemampuan hepar
Hepar tidak mampu melakukan konjugasi
Sebagian masuk kembali ke siklus emerohepatik
Peningkatan bilirubin unconjugned dalam darah
Obstruksi usus
Tinja bewarna pucat
Gangguan integritas Ikterus pada sclera leher dan badan,kulit peningkatan bilirubin indirect >12 mg/dl
Indikasi foto terapi
Sinar dengan intensitas tinggi
Risiko tinggi injury kurangnya volume cairan tubuh gangguan suhu tubuh
BAB 4. ASUHAN KEPERAWATAN
- anamnesis
b) Riwayat persalinan dengan tindakan / komplikasi
c) Riwayat ikterus / terapi sinar / transfusi tukar pada bayi sebelumnya
d) Riwayat inkompatibilitas darah
e) Riwayat keluarga yang menderita anemia, pembesaran hepar dan limpa.
- Pemeriksaan Fisik :
- Pengkajian Psikososial :
- Pengetahuan Keluarga meliputi :
4.2 DiagnosaKeperawatan
- Kurangnya volume cairan berhubungan dengan tidak adekuatnya intake cairan, fototherapi, dan diare.
- Peningkatan suhu tubuh (hipertermi) berhubungan dengan efek fototerapi
- Gangguan integritas kulit berhubungan dengan hiperbilirubinemia dan diare
- Risiko tinggi trauma berhubungan dengan efek fototherapi
- Risiko tinggi trauma berhubungan dengan tranfusi tukar
4.3 Intervensi Keperawatan
Diagnosa
|
Tujuan
|
Intervensi
|
Dx 1 | Cairan tubuh neonatus adekuat | 1) Catat jumlah dan kualitas feses
2) pantau turgor kulit 3) pantau intake output 4) beri air diantara menyusui atau memberi botol. |
Dx 2 | Kestabilan suhu tubuh bayi dapat dipertahankan | 1) Beri suhu lingkungan yang netral
2) pertahankan suhu antara 35,5oC- 37 oC 3) cek tanda-tanda vital tiap 2 jam. |
Dx 3 | Keutuhan kulit bayi dapat dipertahankan | 1) Kaji warna kulit tiap 8 jam
2) pantau bilirubin direk dan indirek 3) rubah posisi setiap 2 jam 4) masase daerah yang menonjol 5) jaga kebersihan kulit dan kelembabannya. |
Dx 5 | Neonatus akan berkembang tanpa disertai tanda-tanda gangguan akibat
fototherapi |
1) Tempatkan neonatus pada jarak 45 cm dari sumber cahaya
2) biarkan neonatus dalam keadaan telanjang kecuali mata dan
daerah genetal serta bokong ditutup dengan kain yang dapat memantulkan
cahay 3) usahakan agar penutup mata tidak menutupi hidung dan bibir 4) buka penutup mata untuk mengkaji adanya konjungtivitis tiap 8 jam 5) buka penutup mata setiap akan disusukan 6) ajak bicara dan beri sentuhan setiap memberikan perawatan. |
Dx 6 | Tranfusi tukar dapat dilakukan tanpa komplikasi | 1) Catat kondisi umbilikal jika vena umbilikal yang digunakan
2) basahi umbilikal denganNaCl selama 30 menit sebelum melakukan tindakan, neonatus puasa 4 jam sebelum tindakan 3) pertahankan suhu tubuh bayi 4) catat jenis darah ibu dan Rhesus serta darah yang akan ditranfusikan adalah darah segar 5) pantau tanda tanda vital selama dan sesudah tranfusi 6) siapkan suction bila diperlukan 7) amati adanya ganguan cairan dan elektrolit 8) monitor pemeriksaan laboratorium sesuai program. |
4.4 Implementasi Keperawatan
- Dx 1
- Telah dicatat jumlah dan kualitas feses
- Telah dipantau turgor kulit
- Te;ah dipantau intake output
- Telah diberi air diantara menyusui atau memberi botol.
- Dx 2
- Telah diberi suhu lingkungan yang netral
- Telah dipertahankan suhu antara 35,5oC- 37 oC
- Telah dilakukan pengecekan tanda-tanda vital tiap 2 jam.
- Dx 3
- Kaji warna kulit tiap 8 jam
- pantau bilirubin direk dan indirek
- rubah posisi setiap 2 jam
- masase daerah yang menonjol
- Dx 4
- Tempatkan neonatus pada jarak 45 cm dari sumber cahaya
- biarkan neonatus dalam keadaan telanjang kecuali mata dan daerah genetal serta bokong ditutup dengan kain yang dapat memantulkan cahay
- usahakan agar penutup mata tidak menutupi hidung dan bibir
- buka penutup mata untuk mengkaji adanya konjungtivitis tiap 8 jam
- buka penutup mata setiap akan disusukan
- Dx 5
- Catat kondisi umbilikal jika vena umbilikal yang digunakan
- basahi umbilikal denganNaCl selama 30 menit sebelum melakukan tindakan, neonatus puasa 4 jam sebelum tindakan
- pertahankan suhu tubuh bayi
- catat jenis darah ibu dan Rhesus serta darah yang akan ditranfusikan adalah darah segar
- pantau tanda tanda vital selama dan sesudah tranfusi
- siapkan suction bila diperlukan
- amati adanya ganguan cairan dan elektrolit
4.5 Evaluasi Keperawatan
S: merupakan respon subjektif pasien
O: merupkaan respon objektif pasien maupun observasi perawat
A: analisis perawat
P: berisi rencana tindakan selanjutnya
BAB 5. PENUTUP
Ikterus merupakan suatu keadaan dimana konsentrasi bilirubin dalam darah mengalami peningkatan yang abnormal. Ikterus mempunyai beberapa tipe yaitu tipe hemolitik, hepatoseluler, obstruktif, dan ikterus akibat hiperbilirubinemia herediter. Ikterus hemolitik terjadi akibat peningkatan dekstruksi sel darah merah yang menyebabkan pengaliran bilirubin ke dalam darah yang begitu cepat. Keadaan ini yang menyebabkan hati tidak mampu lagi mengekskresikan bilirubin secepat proses pembentukannya. Ikterus hepatoseluler disebabkan oleh sel hati yang rusak untuk membersihkan bilirubin yang jumlahnya masih normal dalam darah. Sel hati yang rusak ini dapat disebabkan oleh infeksi, misal pada hepatitis virus, karena obat-obatan atau karena alkohol.
Ikterus obstruktif terjadi akibat adanya sumbatan saluran empedu oleh batu empedu, proses inflamasi, dan tumor. Sedangkan ikterus akibat hiperbilirubinemia herediter disebabkan kelainan bawaan. Terdapat 4 mekanisme terjadinya hiperbilirubinemia dan ikterus, yaitu pembentukan bilirubin berlebihan, gangguan pengambilan bilirubin tak terkonyugasi oleh hati, gangguan konyugasi bilirubin, pengurangan eksresi bilirubin terkonyugasi dalam empedu akibat faktor intra hepatik dan ekstra hepatik yang bersifat obstruksi fungsional/mekanik.
5.2 Saran
Saran dalam makalah ini ada adalah.
- Perawat
- Klien dan keluarga
DAFTAR PUSTAKA
Price, Sylvia A. 2006. Patofiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Jakarta: EGC
Smeltzel, Suzanne C. 2009. Keperawatan Medikal-Bedah. Edisi 8. Jakarta: EGC.
http://usupress.usu.ac.id/files/Ragam%20Pediatrik%20Praktis_Final_BAB%201.pdf
http://www.askep.net/pdf/ikterus-pdf
http://adulgopar.files.wordpress.com/2009/12/ikterus-neonatorum.pdf
http://www.scribd.com/doc/32379634/pengertian-Ikterus
http://library.usu.ac.id/download/fk/keperawatan-mula%20tarigan.pdf
:�Bg�. p �O3 �� ight:150%;font-family:”Times New Roman”,”serif”;mso-bidi-font-family: “Times New Roman”;mso-bidi-theme-font:minor-bidi;mso-ansi-language:EN-US’>2.2.5 pemeriksaan Fisik Indra Penciuman
Indra penciuman merupakan penentu dalam identifikasi aroma dan cita rasa makanan-minuman yang dihubungkan oleh saraf trigeminus sebagai pemantau zat kimia yang terhirup. Indra penciuman dianggap salah satu sistem kemosensorik karena sebagian besar zat kimia menghasilkan persepsi olfaktorius, trigeminus, dan pengecapan. Hal ini dikarenakan sensasi kualitatif penciuman ditangkap neuroepitelium olfaktorius sehingga menimbulkan sensibilitas somatic berupa rasa dingin, hangat, dan iritasi melalui serabut saraf aferen trigeminus, glosofaringeus, dan vagus dalam hidung, kavum oris, lidah, faring, dan laring.
Adanya gangguan penciuman (osmia) dapat diakibatkan oleh proses patologis sepanjang olfaktorius yang hampir serupa dengan gangguan pendengaran berupa defek konduktif maupun defek sensorineural. Defek konduktif (transport) terjadi akibat adanya gangguan transisi stimulus bau menuju neuroepitel, sedangkan defek sensorineural cenderung melibatkan struktur saraf yang lebih sentral. Namun penyebab utama dari gangguan penciuman, yaitu penyakit rongga hidung maupun sinus, sebelum terjadi infeksi saluran nafas atas, dan trauma kepala (Kris, 2006).
Gangguan penciuman (osmia) memiliki sifat total (seluruh bau), parsial (sejumlah bau), atau spesifik (satu atau sejumlah kecil bau). Jenis-jenis gangguan penciuman, yaitu:
- Anosmia merupakan ketidak-mampuan mendeteksi bau
- Hiposmia merupakan penurunan kemampuan mendeteksi bau
- Disosmia merupakan distorsi identifikasi bau (tidak bisa membedakan bau)
- Parosmia merupakan perubahan persepsi pembauan
- Phantosmia merupakan persepsi bau tanpa adanya sumber bau
- Agnosia merupakan ketidakmampuan menyebutkan maupun membedakan bau, meski pasien dapat mendeteksi bau.
Etiologi dari gangguan penciuman adalah sebagai berikut.
- Defek konduktif
- Proses inflamasi
- Massa/tumor
- Abnormalitas developmental
- Defek sensorineural
- Proses inflamasi
- Penyebab congenital
- Gangguan endokrin
- Trauma kepala
- Toksisitas obat sistemik
- Defisiensi gizi
- Penurunan jumlah serabut bulbus olfaktorius
- Proses degenerative.
Untuk mengidentifikasi adanya gangguan penciuman diperlukan pemeriksaan fisik untuk menentukan sensasi kualitatif dan ambang batas deteksi.
- Pemeriksaan fisik untuk emenentukan sensasi kualitatif
Sedangkan saat ini terdapat beberapa metode yang tersedia untuk pemeriksaan penciuman, yaitu:
- Tes odor stix
- Tes alkhohol 12 inci
- Scratch and sniff card
- The University of Pennsylvania Smell Identification Test (UPSIT)
- Pemeriksaan fisik untuk emenentukan ambang batas
BAB 4. PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Sistem sensori berperan penting dalam hantaran informasi ke sistem saraf pusat mengenai lingkungan sekitarnya. Pemeriksaan fisik pada sistem sensori ini sangat kompleks karena harus melibatkan pemeriksaan pada kelima sistem indra tubuh yaitu penglihatan, pendengaran, pengecap, pembau, dan peraba.
Gangguan pada sistem sensori disebabkan oleh adanya lesi pada saraf yang mengatur sensori tubuh. Lesi-lesi tersebut dapat menghambat hantaran impuls saraf. Pemeriksaan fisik sensori dapat dilakukan pada berbagai usia dan dilakukan untuk dapat menentukan atau mengetahui apakan pasien tersebut mengalami gangguan pada saraf sensorinya.
4.2 Saran
Perawat hendaknya dapat mempraktikkan dan menguasai teknik dalam pemeriksaan fisik sistem sensori agar dapat menentukan tindakan asuhan keperawatan secara efektif.
DAFTAR PUSTAKA
Anonym. 2006. Critical Care Concept: Neuro Assesment Handout.
Brickley, Linn S. 2007. Buku Saku Pemeriksaan Fisik & Riwayat Kesehatan Bates.Edisi 5.Terjemahan oleh Esty Wahyuningsih. 2008. Jakarta: EGC.
Engel, Joyce. 1998. Pengkajian Pediatrik. Edisi 2. Jakarta: EGC.
Horison. 1995. Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Vol I. Edisi 13. Jakarta: EGC.
Juwono, T. 1996. Pemeriksaan Klinik Neurologik Dalam Praktek. Jakarta: EGC.
Kris. 2005. Info Kesehatan THT-Bedah Kepala Leher: Gangguan Penciuman/Penghidu. http://thtkl.wordpress.com/2008/09/25/gangguan-penciumanpenghindu/ [13 Februari 2012].
Nasution, Siti saidah. 2003. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Perubahan Persepsi Sensori: Halusinasi. Medan: Universitas Sumatera Utara.
Price, Sylvia A. & Wilson, Lorraine M. 2002. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Edisi 6.Volume 2. Jakarta: EGC.
Pudjiastuti, Sri Surini & Utomo, Budi. 2002. Fisioterapi Pada Lansia. Jakarta: EGC.
Sarwono, Djoko. 1982. Penilaian Daya Penglihatan Anak Di Bawah Umur 1 Tahun. Jakarta: Cermin Dunia Kedokteran.
Smeltzer, Suzanne C. & Bare, Brenda G. 1996. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth.Edisi 8.Volume 3.Terjemahan oleh Andry Hartono. 2002. Jakarta: EGC.
http://www.scribd.com/doc/45883660/SGD-1-Pemeriksaan-fisik