Monday, January 13, 2014

LP DAN ASKEP PASIEN DENGAN IKHTERUS

BAB 1. PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Anak baru lahir merupakan kondisi yang memiliki angka risiko tinggi untuk terjadi penyakit ataupu  gangguan lainnya. Kondisi tersebut dipengaruhi oleh sistem pertahanan tubuh yang belum optimal.  Banyak kejadian terhadap anak baru lahir karena dipengaruhhi oleh faktor pre natal, natal dan post natal. Deteksi dini dan upaya pencegahan dengan pola hidup sehat (olharaga, makan makanan sehat) harus senantiasa dipromosikan oleh pihak kesehatan sebagai upaya preventif dan promotif.
Anak dengan kejadian ganggaun terhadap sistem pencernaan juga sering ditemui. Kebanyakan hal tersebut merupakan kondisi fisiologi dan ada yang patologi tapi juga ada kondisi fisiologi yang dapat menjdai patologi. Kondisi anak dengan ikterus normal ditemukan pada 80% kurang bulan dan 60% cukup bulan. Hal ini menunjukkan bahwa angka kejadian ikterus cukup tinggi. Namun tidak semua ikterus tersebut patologi. Untuk mengetahui perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. Jika kondisi tersebut dibiarkan juga akan berdampak pada angka kehidupan anak karena dapat menyebabkan kematian.
Peran perawat lebih bertindak kepada promotif dan preventif dan kuratif ketika sudah terjadi ikterus. Pemberian penjelasan kepada keluarga tentang pentingnya pemeriksaan kondisi anak terhadap penyakit yang dialami akan dilakukan perawat. Asuhan keperawatan yang akan bergerak untuk memberikan penanganan terhadap kejadian ikterus pada anak

1.2  Tujuan
  1. Mengetahui pengertian ikterus
  2. Mengetahui epidemiologi ikterus
  3. Mengetahui etiologi ikterus
  4. Mengetahui tanda dan gejala ikterus
  5. Mengetahui patofisiologi ikterus
  6. Mengetahui komplikasi dan prognosis ikterus
  7. Mengetahui penatalaksanaan medis ikterus
  8. Mengetahui pemeriksaan penunjang dan laboratorium ikterus
  9. Mengetahui pencegahan ikterus
  10. Mengetahui asuhan keperawatan pada pasien ikterus

1.3  Implikasi Keperawatan
  1. Perawat sebagai edukator
Perawat memberikan informasi kepada orang tua dan keluarga mengenai kodisi  ikterus dengan bahasa yang mudah dipahami.
  1. Perawat sebagai konselor
    1. Perawat memberikan konseling mengenai prosedur dalam menjalani perawatan ikterus.
    2. Perawat memberikan konseling kepada orang tua mengenai nutrisi yang harus dipenuhi oleh pasien dengan kondisi ikterus.
    3. Perawat membantu klien dalam memecahkan masalah dengan memberikan pilihan-pilihan yang terbaik guna mendapatkan pelayanan dan pengobatan untuk klien dengan kodisi ikterus.
  2. Perawat sebagai advokasi
  3. Perawat melindungi hak-hak pasien dengan ikterus, dalam mendapatkan pelayanan dan pengobatan yang sesuai.
  4. Perawat memberikan saran – saran kepada klien jika klien dihadapkan pada suatu permasalahan, dengan membantu menyelesaikannya dan tidak lupa menjelaskan tentang baik buruknya dari setiap pilihan.
    1. Perawat sebagai klinisi
Perawat memberikan asuhan keperawatan yang tepat pada anak dengan kodisi ikterus dan memberikan pelayanan yang tepat saat anak dirawat.




BAB 2. TINJAUAN TEORI
2.1  Definisi Ikterus
Ikterus adalah suatu keadaan dimana konsentrasi bilirubin dalam darah mengalami peningkatan yang abnormal. Bahkan semua bagian tubuh yang mencakup sclera dan kulit akan tampak berubah berwarna menjadi kuning ataupun kuning kehijauan. Ikterus terjadi bila kadar bilirubin dalam darah melampaui 2 hingga 2,5 mg/dl. Peningkatan kadar bilirubin ini dapat terjadi akibat gangguan pada ambilan hepatic, ekskresi bilirubin ke dalam system bilier.
Ikterus mempunyai beberapa tipe yaitu tipe hemolitik, hepatoseluler, obstruktif, dan ikterus akibat hiperbilirubinemia herediter. Tipe-tipe terebut antara lain:
  1. Ikterus hemolitik
Keadaan ini terjadi akibat peningkatan dekstruksi sel darah merah yang menyebabkan pengaliran bilirubin ke dalam darah yang begitu cepat. Keadaan ini yang menyebabkan hati tidak mampu lagi mengekskresikan bilirubin secepat proses pembentukannya. Tipe ini biasa dijumpai pada pasien dengan reaksi tranfusi hemolitik dan kelainan hemolitik lainnya.
Tipe ini tidak mengalami gejala atau komplikasi sebagai akibat dari ikterus itu sendiri. Namun jika hiperbilirubinemia sangat ekstrim akan dapat mengalami gejala atau komplikasi. Ikterus yang berlangsung lama dapat membawa risiko kemungkinan terjadinya kerusakan batang otak.

  1. Ikterus hepatoseluler
Keadaan ini disebabkan oleh sel hati yang rusak untuk membersihkan bilirubin yang jumlahnya masih normal dalam darah. Sel hati yang rusak ini dapat disebabkan oleh infeksi, misal pada hepatitis virus, karena obat-obatan atau karena alkohol.
Konsumsi alcohol yang berlebih dapat menyebabkan sirosis hepatis. Sirosis hepatis merupakan bentuk penyakit hepatoseluler yang dapat menimbulkan ikterus. Pasien ikterus hepatoseluler bisa menderita.
Tanda gejala dari pasien dengan ikterus hepatoseluler biasanya menderita sakit ringan atau berat dengan menurunnya selera makan, mual, perasaan lemah, lesu, dan terjadi penurunan berat badan. Pasien juga biasanya mengeluh sakit kepala, menggigil dan panas jika penyebabnya adalah infeksi. Ikterus hepatoseluler bisa bersifat reversible total atau ireversibel bergantung pada penyebab dan luasnya kerusakan hati.

  1. Ikterus obstruktif
Keadaaan ini dapat terjadi akibat adanya sumbatan saluran empedu oleh batu empedu, proses inflamasi, dan tumor. Obstruksi juga dapat melibatkan saluran empedu dalam hati, yaitu obstruksi intrahepatik. Obstruksi intrahepatik ini terjadi akibat penekanan pada saluran empedu oleh pembengkakan hati karena inflamasi, obstruksi ini dapat pula terjadi karena eksudat akibat inflamasi di dalam saluran empedu itu sendiri.
Obstruksi intrahepatik yang disebabkan pengentalan empedu di dalam kanalikus dapat terjadi setelah minum obat-obatan yang tergolong preparat atau kolestatik. Obat-obatan dengan contoh fenotiazin, sulfonylurea, antidepresan trisiklik, estrogen, dan androgen.
Perubahan warna kuning pada kulit, sklera serta membrane mukosa dapat disebabkan karena bila empedu tidak dapat mengalir secara normal ke dalam usus, tetapi mengalir balik ke dalam hati, maka empedu ini akan diserap kembali ke dalam darah dan dibawa ke seluruh tubuh.
Empedu tersebut akan di ekskresikan ke dalam urin yang membuat urin berwarna tengguli dan berbuih. Karena terjadinya penurunan jumlah empedu dalam saluran cerna, tinja akan tampak berwarna cerah atau pekat. Kulit dapat terasa sangat gatal sehingga pasien harus mandi berkali-kali.

  1. Hiperbilirubinemia herediter
Peningkatan bilirubin serum yang disebabkan oleh kelainan bawaan juga dapat menimbulkan ikterus. Sindrom gilbert merupakan kelainan familial yang ditandai oleh peningkatan kadar bilirubin tak terkonjugasi yang menimbulkan ikterus. Meskipun kadar bilirubin serum meningkat, hasil pemeriksaan histology serta hasil tes fungsi hati tampak normal, dan tidak terjadi hemolisis.
Keadaan lain yang mungkin disebabkan oleh kelainan bawaan metabolism bilier mencakup: Sindrom Dubin-johnson (ikterus idiopatik kronis dengan pigmen dalam hati) dan sindrom rotor (hiperbilirubinemia-terkonjugasi familial kronis tanpa pigmen dalam hati). Ikterus kolestatik benigna pada kehamilan dengan retensi bilirubin terkonjugasi yang kemungkinan terjadi sekunder akibat kepekaan yang abnormal terhadap hormone-hormon kehamilan, dan kemungkinan pula akibat kambuhnya kolestasis intrahepatik yang ganas.

2.2  Epidemiologi Ikterus
Pada sebagian besar neonatus, ikterik akan ditemukan dalam minggu pertama kehidupannya. Dikemukan bahwa angka kejadian iketrus terdapat pada 60 % bayi cukup bulan dan 80 % bayi kurang bulan. Ikterus ini pada sebagian penderita dapat berbentuk fisiologik dan sebagian lagi patologik yang dapat menimbulkan gangguan yang menetap atau menyebabkan kematian.

2.3  Etiologi Ikterus
Hiperbilirubinemia dapat disebabkan oleh berbagai keadaan:
  1. a.      Penyebab yang sering:
  2. Hiperbilirubinemia fisiologis
  3. Inkompatibilitas golongan darah ABO
  4. ‘Breast Milk Jaundice’
  5. Inkompatibilitas golongan darah rhesus
  6. Infeksi
  7. Hematoma sefal, hematoma subdural, ‘excessive bruising’
  8. IDM (‘Infant of Diabetic Mother’)
  9. Polisitemia / hiperviskositas
  10. Prematuritas / BBLR
  11. Asfiksia (hipoksia, anoksia), dehidrasi – asidosis, hipoglikemia.


  1. b.      Penyebab yang jarang:
  2. Defisiensi G6PD (Glucose 6 – Phosphat Dehydrogenase)
  3. Defisiensi piruvat kinase
  4. Sferositosis kongenital
  5. Lucey – Driscoll syndrome (ikterus neonatorum familial)
  6. Hipotiroidism
  7. Hemoglobinopathy

2.4  Tanda dan Gejala Ikterus
Gejala utamanya adalah kuning di kulit, konjungtiva dan mukosa. Disamping itu dapat pula disertai dengan gejala-gejala:
  1. Dehidrasi: Asupan kalori tidak adekuat (misalnya: kurang minum, muntah-muntah)
  2. Pucat: Sering berkaitan dengan anemia hemolitik (mis. Ketidakcocokan golongan darah ABO, rhesus,defisiensi G6PD) atau kehilangan darah ekstravaskular.
  3. Trauma lahir:  Bruising, sefalhematom (peradarahn kepala), perdarahan tertutup lainnya.
  4. Pletorik (penumpukan darah): Polisitemia, yang dapat disebabkan oleh keterlambatan memotong tali pusat, bayi KMK
  5. Letargik dan gejala sepsis lainnya
  6. Petekiae (bintik merah di kulit): Sering dikaitkan dengan infeksi congenital, sepsis atau eritroblastosis
  7. Mikrosefali (ukuran kepala lebih kecil dari normal):  Sering berkaitan dengan anemia hemolitik, infeksi kongenital, penyakit hati
  8. Hepatosplenomegali (pembesaran hati dan limpa)
  9. Omfalitis (peradangan umbilikus)
  10. Hipotiroidisme (defisiensi aktivitas tiroid)
  11. Massa abdominal kanan:sering berkaitan dengan duktus koledokus
  12. Feses dempul disertai urin warna coklat


2.5              Patofisiologi Ikterus
Empedu yang disekresikan oleh hepar masuk kedalam duktus biliaris yang kecil dalam hepar. Duktus biliaris yang kecil bersatu dan membentuk dua saluran yang lebih besar yang keluar dari permukaan bawah hepar sebagai duktus hepatikus kanan dan kiri yang  bersatu menjadi duktus hepatikus komunis. Duktus  hepatikus  komunis  bergabung  dengan  duktus  sistikus  menjadi  duktus kholedekus yang akan bersatu dengan duktus pankreatikus membentuk ampula vateri yang bermuara di duadenum. Penimbunan  pigmen  empedu  dalam  tubuh  menyebabkan  warna  kuning sampai kehijauan pada jaringan yang disebut ikterus dan ini merupakan tanda penting dari penyakit hati, saluran empedu dan penyakit darah. Terdapat 4 mekanisme terjadinya hiperbilirubinemia dan ikterus, antara lain:
  1. Pembentukan bilirubin berlebihan
  2. Gangguan pengambilan bilirubin tak terkonyugasi oleh hati
  3. Gangguan konyugasi bilirubin
  4. Pengurangan eksresi bilirubin terkonyugasi dalam empedu akibat faktor intra hepatik dan ekstra hepatik yang bersifat obstruksi fungsional/mekanik.

Penyebab ikterus kholestatik bisa intra hepatik atau ekstrahepatik. Penyebab intra  hepatik  adalah  inflamasi,  batu,  tumor,  kelainan  kongenital  duktus  biliaris. Kerusakan dari sel parenkim hati menyebabkan gangguan aliran dari garam bilirubin dalam hati, akibatnya bilirubin tidak sempurna dikeluarkan kedalam duktus hepatikus karena terjadinya retensi dan regurgitasi. Jadi  akan  terlihat  peninggian  bilirubin  terkonjugasi  dan  bilirubin  tidak terkonjugasi dalam serum.
Penyumbatan  duktus  biliaris  yang  kecil  intrahepatal  sudah  cukup menyebabkan  ikterus.  Kadang-kadang  kholestasis  intra  hepatal  disertai  dengan obstruksi mekanis didaerah ekstra hepatal.
Obstruksi mekanik dari aliran empedu intra hapatal yang disebabkan oleh batu/hepatolith biasanya menyebabkan fokal kholestasis, keadaan ini biasanya tidak terjadi  hiper  bilirubinemia  karena  dikompensasi  oleh  hepar  yang  masih  baik. Kholangitis supuratif yang biasanya disertai pembentukan abses dan ini biasanya yang  menyebabkan  ikterus.  Infeksi  sistemik  dapat  mengenai    vena  porta  akan menyebabkan invasi kedinding kandung empedu dan traktus biliaris.
Pada intra hepatik kholestasis biayanya terjadi kombinasi antara kerusakan sel hepar dan gangguan metabolisme (kholestasis dan hepatitis).
Ekstra hepatik kholestatik disebabkan gangguan aliran empedu kedalam usus halus  sehingga  akibatnya  terjadi  peninggian  bilirubin  terkonjugasi  dalam  darah. Penyebab yang  paling sering dari ekstra hepatik kholestatik adalah batu diduktus kholedekhus dan duktus sistikus, tumor duktus kholedekus, kista duktus kholeskhus, tumor kaput pankreas, sklerosing kholangitis.

2.6              Komplikasi dan Prognosis Ikterus
ikterus adalah suatu sindrom neurologik yang timbul sebagai akibat penimbunan tak terkonjugasi dalam sel-sel otak.
Hiperbilirubemia baru akan berpengaruh buruk apabila bilirubin indirek telah melalui sawar otak.

2.7              Penatalaksanaan Medis Ikterus
  1. terapi sinar pada:
a)      NCB (neonatus cukup bulan) – SMK (sesuai masa kehamilan) sehat : kadar bilirubin total > 12 mg/Dl
b)      NKB (neonatus kurang bulan) sehat : kadar bilirubin total > 10 mg/dL
  1. tranfusi tukar bila kadar bilirubin indirek > 20 mg/dL
  2. Terapi sinar intensif
Terapi sinar intensif dianggap berhasil, bila setelah ujian penyinaran kadar bilirubin minimal turun 1 mg/dL.

Penanganan Kuning Pada Bayi Baru Lahir
Penanganan ikterus (kuning) pada bayi baru lahir (neonatus) dapat dilakukan dengan:
  1. Penanganan secara mandiri di rumah
a)      Berikan ASI yang cukup (8-12 kali sehari)
b)      Sinar matahari dapat membantu memecah bilirubin sehingga lebih mudah diproses oleh hati.
Langkah-langkah:
I.            Tempatkan bayi dekat dengan jendela terbuka untuk mendapat matahari pagi antara jam 7-8 pagi agar bayi tidak kepanasan.
II.            atur posisi kepala agar wajah tidak menghadap matahari langsung.
III.            Lakukan penyinaran selama 30 menit, 15 menit terlentang dan 15 menit tengkurap.
IV.            Usahakan kontak sinar dengan kulit seluas mungkin, oleh karena itu pakaian bayi hendaknya dilepas, tetapi hati-hati jangan sampai kedinginan.
  1. Terapi medis
a)      Dokter melakukan terapi sinar (phototherapy) sesuai dengan peningkatan kadar bilirubin pada nilai tertentu berdasarkan usia bayi dan apakah bayi lahir cukup bulan atau prematur. Bayi ditempatkan dibawah sinar khusus. Sinar tersebut mampu menembus kulit bayi dan akan mengubah bilirubin menjadi lumirubin yang lebih mudah diubah oleh tubuh bayi. Bayi yang sedang menjalani terapi sinar diberi penutup mata khusus.
b)      Jika terapi sinar yang standar tidak dapat menolong untuk menurunkan kadar   bilirubin, maka bayi akan ditempatkan pada selimut fiber optic atau terapi sinar ganda/triple.
c)      Jika gagal dengan terapi sinar maka dilakukan transfusi tukar yaitu penggantian darah bayi dengan darah donor. Ini adalah prosedur yang sangat khusus dan dilakukan pada fasilitas yang mendukung untuk merawat bayi dengan sakit kritis. namun secara keseluruhan, hanya sedikit bayi yang akan membutuhkan transfusi tukar.

2.9  Pemeriksaan Penunjang Dan Pemeriksaan Laboratorium
2.9.1        Pemeriksaan Penunjang
  1. Kadar bilirubin serum (total)
  2. Darah tepi lengkap dan gambaran apusan darah tepi
  3. Penentuan golongan darah dan Rh dari ibu dan bayi
  4. Pemeriksaan kadar enzim G6PD
  5. Pada ikterus yang lama, lakukan uji fungsi hati, uji fungsi tiroid, uji urin terhadap galaktosemia.
  6. Bila secara klinis dicurigai sepsis, lakukan pemeriksaan kultur darah, urin, IT rasio dan pemeriksaan C reaktif protein (CRP).

2.9.2        Pemeriksaan Laboratorium
Pada beberapa kasus  pemeriksaan fisik yang lengkap sangat diperlukan dan pemeriksaan darah mungkin diperlukan untuk mengetahui:
  1. Kadar bilirubin total
pemeriksaan tambahan:
a)      tes Coombs untuk memeriksa antibodi yang   menghancurkan sel darah merah bayi.
b)      pemeriksaan darah lengkap
c)      pemeriksaan hitung retikulosit untuk melihat apakah bayi memproduksi sel darah merah yang baru.
  1. Golongan darah dan rhesus ibu dan bayi
  2. Pada beberapa kasus mungkin perlu untuk memeriksa darah untuk melihat suatu kondisi yang disebut sebagai defisiensi G6PD

2.8  Pencegahan Ikterus
Pada kebanyakan kasus, kuning pada bayi tidak bisa dicegah. Cara terbaik untuk menghindari ikterus adalah dengan memberi bayi cukup minum terutama pemberian ASI.





BAB 3. PATHWAYS
Hemoglobin
                                    Globin                                     heme
Biliverdin            feco

Peningkatan destruki eritrosit hb dan eritrosit
Pemecahan bilirubin berlebih
Suplai bilirubin melebihi kemampuan hepar
Hepar tidak mampu melakukan konjugasi
Sebagian masuk kembali ke siklus emerohepatik
Peningkatan bilirubin unconjugned dalam darah
Obstruksi usus
Tinja bewarna pucat
Gangguan integritas                Ikterus pada sclera leher dan badan,
kulit                             peningkatan bilirubin indirect >12 mg/dl
Indikasi foto terapi
Sinar dengan intensitas tinggi





Risiko tinggi injury     kurangnya volume cairan tubuh          gangguan suhu tubuh



BAB 4. ASUHAN KEPERAWATAN

4.1  Pengkajian
  1. anamnesis
a)      Riwayat kehamilan dengan komplikasi (obat-obatan, ibu DM, gawat janin, malnutrisi intra uterin, infeksi intranatal)
b)      Riwayat persalinan dengan tindakan / komplikasi
c)      Riwayat ikterus / terapi sinar / transfusi tukar pada bayi sebelumnya
d)     Riwayat inkompatibilitas darah
e)      Riwayat keluarga yang menderita anemia, pembesaran hepar dan limpa.

  1. Pemeriksaan Fisik :
Kuning, Pallor Konvulsi, Letargi, Hipotonik, menangis melengking, refleks menyusui yang lemah, Iritabilitas.

  1. Pengkajian Psikososial :
Dampak sakit anak pada hubungan dengan orang tua, apakah orang tua merasa bersalah, masalah Bonding, perpisahan dengan anak.

  1. Pengetahuan Keluarga meliputi :
Penyebab penyakit dan pengobatan, perawatan lebih lanjut, apakah mengenal keluarga lain yang memiliki yang sama, tingkat pendidikan, kemampuan mempelajari Hiperbilirubinemia (Cindy Smith Greenberg. 1988).

4.2  DiagnosaKeperawatan
  1. Kurangnya volume cairan berhubungan dengan tidak adekuatnya intake cairan, fototherapi, dan diare.
  2. Peningkatan suhu tubuh (hipertermi) berhubungan dengan efek fototerapi
  3. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan hiperbilirubinemia dan diare
  4. Risiko tinggi trauma berhubungan dengan efek fototherapi
  5. Risiko tinggi trauma berhubungan dengan tranfusi tukar

4.3  Intervensi Keperawatan

Diagnosa
Tujuan
Intervensi
Dx 1 Cairan tubuh neonatus adekuat 1)      Catat jumlah dan kualitas feses 2)      pantau turgor kulit
3)      pantau intake output
4)      beri air diantara menyusui atau memberi botol.
Dx 2 Kestabilan suhu tubuh bayi dapat dipertahankan 1)      Beri suhu lingkungan yang netral 2)      pertahankan suhu antara 35,5oC- 37 oC
3)      cek tanda-tanda vital tiap 2 jam.
Dx 3 Keutuhan kulit bayi dapat dipertahankan 1)      Kaji warna kulit tiap 8 jam 2)      pantau bilirubin direk dan indirek
3)      rubah posisi setiap 2 jam
4)      masase daerah yang menonjol
5)      jaga kebersihan kulit dan kelembabannya.
Dx 5 Neonatus akan berkembang tanpa disertai tanda-tanda gangguan akibat fototherapi
1)      Tempatkan neonatus pada jarak 45 cm dari sumber cahaya 2)      biarkan neonatus dalam keadaan telanjang kecuali mata dan daerah genetal serta bokong ditutup dengan kain yang dapat memantulkan cahay
3)      usahakan agar penutup mata tidak menutupi hidung dan bibir
4)      buka penutup mata untuk mengkaji adanya konjungtivitis tiap 8 jam
5)      buka penutup mata setiap akan disusukan
6)      ajak bicara dan beri sentuhan setiap memberikan perawatan.
Dx 6 Tranfusi tukar dapat dilakukan tanpa komplikasi 1)      Catat kondisi umbilikal jika vena umbilikal yang digunakan 2)      basahi umbilikal denganNaCl selama 30 menit sebelum melakukan tindakan, neonatus puasa 4  jam sebelum tindakan
3)      pertahankan suhu tubuh bayi
4)      catat jenis darah ibu dan Rhesus serta darah yang akan ditranfusikan adalah darah segar
5)      pantau tanda tanda vital selama dan sesudah tranfusi
6)      siapkan suction bila diperlukan
7)      amati adanya ganguan cairan dan elektrolit
8)      monitor pemeriksaan laboratorium sesuai program.

4.4  Implementasi Keperawatan
  1. Dx 1
    1. Telah dicatat jumlah dan kualitas feses
    2. Telah dipantau turgor kulit
    3. Te;ah dipantau intake output
    4. Telah diberi air diantara menyusui atau memberi botol.
    5. Dx 2
      1. Telah diberi suhu lingkungan yang netral
      2. Telah dipertahankan suhu antara 35,5oC- 37 oC
      3. Telah dilakukan pengecekan tanda-tanda vital tiap 2 jam.
      4. Dx 3
      5. Kaji warna kulit tiap 8 jam
      6. pantau bilirubin direk dan indirek
      7. rubah posisi setiap 2 jam
      8. masase daerah yang menonjol
jaga kebersihan kulit dan kelembabannya.
  1. Dx 4
  2. Tempatkan neonatus pada jarak 45 cm dari sumber cahaya
  3. biarkan neonatus dalam keadaan telanjang kecuali mata dan daerah genetal serta bokong ditutup dengan kain yang dapat memantulkan cahay
  4. usahakan agar penutup mata tidak menutupi hidung dan bibir
  5. buka penutup mata untuk mengkaji adanya konjungtivitis tiap 8 jam
  6. buka penutup mata setiap akan disusukan
ajak bicara dan beri sentuhan setiap memberikan perawatan.
  1. Dx 5
  2. Catat kondisi umbilikal jika vena umbilikal yang digunakan
  3. basahi umbilikal denganNaCl selama 30 menit sebelum melakukan tindakan, neonatus puasa 4  jam sebelum tindakan
  4. pertahankan suhu tubuh bayi
  5. catat jenis darah ibu dan Rhesus serta darah yang akan ditranfusikan adalah darah segar
  6. pantau tanda tanda vital selama dan sesudah tranfusi
  7. siapkan suction bila diperlukan
  8. amati adanya ganguan cairan dan elektrolit
monitor pemeriksaan laboratorium sesuai program.
4.5  Evaluasi Keperawatan
S: merupakan respon subjektif pasien
O: merupkaan respon objektif pasien maupun observasi perawat
A: analisis perawat
P: berisi rencana tindakan selanjutnya















BAB 5. PENUTUP

5.1  Kesimpulan
Ikterus merupakan suatu keadaan dimana konsentrasi bilirubin dalam darah mengalami peningkatan yang abnormal. Ikterus mempunyai beberapa tipe yaitu tipe hemolitik, hepatoseluler, obstruktif, dan ikterus akibat hiperbilirubinemia herediter. Ikterus hemolitik terjadi akibat peningkatan dekstruksi sel darah merah yang menyebabkan pengaliran bilirubin ke dalam darah yang begitu cepat. Keadaan ini yang menyebabkan hati tidak mampu lagi mengekskresikan bilirubin secepat proses pembentukannya. Ikterus hepatoseluler disebabkan oleh sel hati yang rusak untuk membersihkan bilirubin yang jumlahnya masih normal dalam darah. Sel hati yang rusak ini dapat disebabkan oleh infeksi, misal pada hepatitis virus, karena obat-obatan atau karena alkohol.
Ikterus obstruktif terjadi akibat adanya sumbatan saluran empedu oleh batu empedu, proses inflamasi, dan tumor. Sedangkan ikterus akibat hiperbilirubinemia herediter disebabkan kelainan bawaan. Terdapat 4 mekanisme terjadinya hiperbilirubinemia dan ikterus, yaitu pembentukan bilirubin berlebihan, gangguan pengambilan bilirubin tak terkonyugasi oleh hati, gangguan konyugasi bilirubin, pengurangan eksresi bilirubin terkonyugasi dalam empedu akibat faktor intra hepatik dan ekstra hepatik yang bersifat obstruksi fungsional/mekanik.

5.2  Saran
Saran dalam makalah ini ada adalah.
  1. Perawat
Perawat hendaknya senantiasa mengembangkan diri dan menambah pengetahuan dalam memberikan asuhan keperawatan khususnya pada klien dengan ikterus terutama tentang perjalanan penyakit dan penatalaksanaannya. Penderita ikterus memerlukan perawatan yang baik untuk meningkatkan kesembuhan dan mencegah komplikasi. Keterlibatan keluarga dalam intervensi hendaknya ditingkatkan sehingga tujuan yang ingin dicapai klien juga ikut benar-benar berperan dan berusaha mencapai tujuan yang direncanakan.
  1. Klien dan keluarga
Klien dan keluarga hendaknya berpartisipasi aktif dalam pemberian intervensi yang direncanakan sebagai upaya penyembuhan serta bekerjasama mematuhi terapi yang diberikan. Semangat klien untuk sembuh akan membantu keberhasilan intervensi.




DAFTAR PUSTAKA

Price, Sylvia A. 2006. Patofiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Jakarta:   EGC
Smeltzel, Suzanne C. 2009. Keperawatan Medikal-Bedah. Edisi 8. Jakarta: EGC.
http://usupress.usu.ac.id/files/Ragam%20Pediatrik%20Praktis_Final_BAB%201.pdf
http://www.askep.net/pdf/ikterus-pdf
http://adulgopar.files.wordpress.com/2009/12/ikterus-neonatorum.pdf
http://www.scribd.com/doc/32379634/pengertian-Ikterus
http://library.usu.ac.id/download/fk/keperawatan-mula%20tarigan.pdf


:�Bg�. p �O3 �� ight:150%;font-family:”Times New Roman”,”serif”;mso-bidi-font-family: “Times New Roman”;mso-bidi-theme-font:minor-bidi;mso-ansi-language:EN-US’>2.2.5 pemeriksaan Fisik Indra Penciuman

Indra penciuman merupakan penentu dalam identifikasi aroma dan cita rasa makanan-minuman yang dihubungkan oleh saraf trigeminus sebagai pemantau zat kimia yang terhirup. Indra penciuman dianggap salah satu sistem kemosensorik karena sebagian besar zat kimia menghasilkan persepsi olfaktorius, trigeminus, dan pengecapan. Hal ini dikarenakan sensasi kualitatif penciuman ditangkap neuroepitelium olfaktorius sehingga menimbulkan sensibilitas somatic berupa rasa dingin, hangat, dan iritasi melalui serabut saraf aferen trigeminus, glosofaringeus, dan vagus dalam hidung, kavum oris, lidah, faring, dan laring.
Adanya gangguan penciuman (osmia) dapat diakibatkan oleh proses patologis sepanjang olfaktorius yang hampir serupa dengan gangguan pendengaran berupa defek konduktif maupun defek sensorineural. Defek konduktif (transport) terjadi akibat adanya gangguan transisi stimulus  bau menuju neuroepitel, sedangkan defek sensorineural cenderung melibatkan struktur saraf yang lebih sentral. Namun penyebab utama dari gangguan penciuman, yaitu penyakit rongga hidung maupun sinus, sebelum terjadi infeksi saluran nafas atas, dan trauma kepala (Kris, 2006).
Gangguan penciuman (osmia) memiliki sifat total (seluruh bau), parsial (sejumlah bau), atau spesifik (satu atau sejumlah kecil bau). Jenis-jenis gangguan penciuman, yaitu:
  1. Anosmia merupakan ketidak-mampuan mendeteksi bau
  2. Hiposmia merupakan penurunan kemampuan mendeteksi bau
  3. Disosmia merupakan distorsi identifikasi bau (tidak bisa membedakan bau)
  4. Parosmia merupakan perubahan persepsi pembauan
  5. Phantosmia merupakan persepsi bau tanpa adanya sumber bau
  6. Agnosia merupakan ketidakmampuan menyebutkan maupun membedakan bau, meski pasien dapat mendeteksi bau.

Etiologi dari gangguan penciuman adalah sebagai berikut.
  1. Defek konduktif
    1. Proses inflamasi
Proses inflamasi  dapat menyebabkan gangguan pembauan akibat rintitis dan sinus kronik. Rintitis dan sinus kronik mengakibatkan inflamasi mukosa nasal sehingga terjadi abnormalitas sekresi mucus. Sekreai mucus yang berlebihan mengakibatkan silia olfaktorius tertutup mucus sehingga sensitivitas olfaktorius menurun/menghilang.
  1. Massa/tumor
Adanya massa pada rongga hidung mengakibatkan perubahan structural dalam kavum nasi berupa polip, neoplasma, maupun deviasi septum nasi sehingga dapat menghalangi aliran odoran (zat yang menimbulkan bau) ke epitel olfaktorius.
  1. Abnormalitas developmental
Amnormalitas developmental dapat berupa ensefalokel maupun kista dermoid yang mengakibatkan obstruksi pada roingga hidung sehingga menghalangi aliran odoran ke epitel olfaktori.

  1. Defek sensorineural
    1. Proses inflamasi
Proses inflamasi dapat diakibatkan infeksi virus yang merusak neuroepitel, sarkoidosis yang mempengaruhi struktur saraf, maupun sklerosis multiple. Inflamasi ini berakibat pada destruksi neuroepitelium olfaktorius yang dapat mengganggu transmisi sinyal (stimulus odoran) ke epitel olfaktorius.
  1. Penyebab congenital
Congenital dapat menjadi faktor penentu gangguan penciuman. Hal ini dikarenakan kelainan yang bersifat congenital berakibat pada hilangnya struktur saraf. Misalnya, Kallman syndrome mengakibatkan anosmia akibat gagalnya ontogenesis struktur olfaktorius dan hipogonadisme hipogonadotropik.
  1. Gangguan endokrin
Gangguan endokrin seperti diabetes mellitus, hipotiroidisme, maupun hipoadrenalisme dapat mempengaruhi fungsi pembauan berupa gangguan persepsi bau.
  1. Trauma kepala
Trauma kepala pada basis fossa kranii anterior atau lamina kribiformis maupun akibat proses pembedahan kepala atau saraf  dapat menyebabkan regangan, kerusakan, maupun terputusnya fila olfaktori halus sehingga menyebabkan anosmia.



  1. Toksisitas obat sistemik
Obat-obatan yang dapat mengubah sensitivitas bau yaitu obat neurotoksik (etanol, amfetamin, kokain tropical, aminoglikosida, tetrasiklin, asap rokok).
  1. Defisiensi gizi
Defisiensi gizi berupa vitamin A, thiamin, maupun zink terbukti dapat mempengaruhi fungsi pembauan.
  1. Penurunan jumlah serabut bulbus olfaktorius
Penurunan serabut bulbus olfaktorius sebesar 1% per tahun akibat penurunan sel-sel sensorik pada mukosa olfaktorius dan penurunan fungsi kognitif di susunan saraf pusat.
  1. Proses degenerative.
Proses degenerative pada sistem saraf pusat berupa penyakit Parkinson, Alzheimer, dan proses penuaan normal dapat mengakibatkan hiposmia. Pada Alzheimer, hilangnya fungsi pembauan merupakan gejala pertama proses penyakitnya. Sedangkan proses penuaan, terjadi penurunan penciuman yang lebih pesat daripada pengecapan dan penurunan paling pesat terjadi pada usia 70an.

Untuk mengidentifikasi adanya gangguan penciuman diperlukan pemeriksaan fisik untuk menentukan sensasi kualitatif dan ambang batas deteksi.
  1. Pemeriksaan fisik untuk emenentukan sensasi kualitatif
Pemeriksaan fisik untuk emenentukan sensasi kualitatif yang paling sederhana dapat menggunakan bahan-bahan odoran berbeda. Contohnya kopi, vanilla, selai kacang, jeruk, limun, coklat, dan lemon. Pasien diminta untuk mengidentifikasi bau dengan mata tertutup dan kemudian mencium aroma dari bahan-bahan odoran tersebut.



Sedangkan saat ini terdapat beberapa metode yang tersedia untuk pemeriksaan penciuman, yaitu:
  1. Tes odor stix
Uji ini menggunakan pena penghasil bau-bauan. Penba ini dipegang dalam jarak sekitar 3-6 inci dari hidung pasien untuk mengkaji persepsi bau pasien secara kasar.
  1. Tes alkhohol 12 inci
Merupakan metode pemeriksaan persepsi bau secara kasar dengan menggunakan paket alkhohol isopropil yang dipegang pada jarak 12 inci.
  1. Scratch and sniff card
Metode ini menggunakan kartu yang memiliki 3 bau untuk menguji penciuman secara kasar
  1. The University of Pennsylvania Smell Identification Test (UPSIT)
Merupakan metode paling baik untuk menguji penciuman dan paling direkomendasikan. Uji ini menggunakan 40 item pilihan ganda berisi bau-bauan berbentuk kapsul mikro. Orang yang kehilangan seluruh fungsi penciumannya memiliki skor kisaran 1-7 dari skor maksimal 40. Untuk anosmia total, skor yang dihasilkan lebih tinggi karena terdapat adanya sejumlah bau-bauan yang bereaksi terhadap rangsangan terminal.
  1. Pemeriksaan fisik untuk emenentukan ambang batas
Penentuan ambang deteksi bau menggunakan alkhohol feniletil yang ditetapkan dengan menggunakan rangsangan bertingkat. Masing-masing lubang hidung harus diuji sensitivitasnya melalui ambang deteksi untuk fenil-etil metil etil karbinol.




BAB 4. PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Sistem sensori berperan penting dalam hantaran informasi ke sistem saraf pusat mengenai lingkungan sekitarnya. Pemeriksaan fisik pada sistem sensori ini sangat kompleks karena harus melibatkan pemeriksaan pada kelima sistem indra tubuh yaitu penglihatan, pendengaran, pengecap, pembau, dan peraba.
Gangguan pada sistem sensori disebabkan oleh adanya lesi pada saraf yang mengatur sensori tubuh. Lesi-lesi tersebut dapat menghambat hantaran impuls saraf. Pemeriksaan fisik sensori dapat dilakukan pada berbagai usia dan dilakukan untuk dapat menentukan atau mengetahui apakan pasien tersebut mengalami gangguan pada saraf sensorinya.

4.2 Saran
Perawat hendaknya dapat mempraktikkan dan menguasai teknik dalam pemeriksaan fisik sistem sensori agar dapat menentukan tindakan asuhan keperawatan secara efektif.
DAFTAR PUSTAKA


Anonym. 2006. Critical Care Concept: Neuro Assesment Handout.
Brickley, Linn S. 2007. Buku Saku Pemeriksaan Fisik & Riwayat Kesehatan Bates.Edisi 5.Terjemahan oleh Esty Wahyuningsih. 2008. Jakarta: EGC.
Engel, Joyce. 1998. Pengkajian Pediatrik. Edisi 2. Jakarta: EGC.
Horison. 1995. Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Vol I. Edisi 13. Jakarta: EGC.
Juwono, T. 1996. Pemeriksaan Klinik Neurologik Dalam Praktek. Jakarta: EGC.
Kris. 2005. Info Kesehatan THT-Bedah Kepala Leher: Gangguan Penciuman/Penghidu. http://thtkl.wordpress.com/2008/09/25/gangguan-penciumanpenghindu/  [13 Februari 2012].
Nasution, Siti saidah. 2003. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Perubahan Persepsi Sensori: Halusinasi. Medan: Universitas Sumatera Utara.
Price, Sylvia A. & Wilson, Lorraine M. 2002. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Edisi 6.Volume 2. Jakarta: EGC.
Pudjiastuti, Sri Surini & Utomo, Budi. 2002. Fisioterapi Pada Lansia. Jakarta: EGC.
Sarwono, Djoko. 1982. Penilaian Daya Penglihatan Anak Di Bawah Umur 1 Tahun. Jakarta: Cermin Dunia Kedokteran.
Smeltzer, Suzanne C. & Bare, Brenda G. 1996. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth.Edisi 8.Volume 3.Terjemahan oleh Andry Hartono. 2002. Jakarta: EGC.
http://www.scribd.com/doc/45883660/SGD-1-Pemeriksaan-fisik








No comments:

Post a Comment